Dapatkah Covid-19 Dianggap Peristiwa Force Majeure Dalam Kontrak?
Corona virus disease (Covid-19) ditetapkan sebagai pandemi pada 11 Maret 2020 lalu oleh World Health Organization (WHO). Penetapan ini didasarkan pada persebaran virus secara geografi yang telah mencapai 114 negara. Sebelum menjadi pandemi, virus corona disebut sebagai wabah, ketika menjangkiti penduduk Wuhan, Tiongkok. Ia menyebabkan pneumonia sehingga jumlah kasus penyakit tersebut langsung meningkat dengan signifikan. Penyebarannya ke wilayah geografis lebih luas, menginfeksi penduduk di luar Wuhan, bahkan seluruh Tiongkok. Hal inilah yang menyebabkan virus ini ditetapkan sebagai epidemi. Penyebaran epidemi yang berlanjut ke negara-negara lain, mengakibatkan penularan lokal dan menimbulkan wabah disebut sebagai pandemi. Dalam sejarahnya, selain Covid-19, yang terdekat, WHO pernah menetapkan flu babi sebagai pandemi pada Juni 2009 ketika 74 negara sudah terinfeksi. Adapun, masa pandemi ini baru berakhir pada Agustus 2010.
Dalam kondisi ini, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan mulai dari relaksasi impor alat kesehatan, penetapan sebagai bencana nasional hingga Pembatasan Sosialisasi Berskala Besar (“PSBB”). Segala upaya dilakukan untuk memutus rantai penyebaran virus corona tanpa mengesampingkan hal-hal terkait tetap berputarnya roda ekonomi. Banyak hal terjadi. Pandemic ini membuat semua orang harus beradaptasi sebisa mungkin dalam banyak situasi. Segalanya beralih menjadi online. Pembatasan yang diterapkan pemerintah tentu menghambat gerak semua orang yang terbiasa melakukan pekerjaan secara manual. Semua pekerjaan dan transaksi mulai beralih ke cara kerja secara online.
Hal ini juga berdampak pada para pelaku usaha. Imbas ini membuat mereka tidak bisa menjalankan usahanya secara normal. Tak sedikit yang tentu saja terpukul dengan fenomena ini. Namun, banyak juga yang berinovasi untuk menyesuaikan diri.
Nah, bagaimana jika keadaan tersebut membuat salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya?Dapatkah COVID – 19 dianggap Peristiwa Force Majeure Dalam Kontrak?
Secara etimologis, force majeure berasal dari bahasa Perancis yang berarti “kekuatan yang lebih besar”.Dalam Black’s Law Dictionary, disebut sebagai “an event or effect that can be neither anticipate nor controlled”. Namun, secara konteks hukum perdata, force majeure adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak dapat menjalankan kewajibannya bukan karena ia sengaja atau lalai, melainkan karena ada hal-hal yang ada di luar kuasanya dan mempengaruhi dirinya untuk tidak menjalankan kewajibannya (overmacht).
Prof Subekti, membagi pengertiannya menjadi dua. Force Majeure atau keadaan memaksa merupakan pembelaan debitur untuk menunjukan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Menurutnya, Force Majeure merupakan suatu alasan untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar ganti rugi atas dasar wanprestasi yang dikemukakan oleh pihak kreditur.
Dalam peraturan perundang-undangan sektoral, seperti halnya pada Pasal 1 ayat (52) PP 16/2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, “Keadaan Kahar adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para pihak dalam kontrak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi”. Sedangkan dalam Pasal 47 UU 2/2017 Tentang Jasa Konstruksi, ““yang dapat ditafsirkan bahwa keadaan memaksa adalah kejadian yang yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Dalam putusan MA No.3389K/Pdt/1984, Ia dimaknai secara luas. Intisari yang dapat diambil adalah menyatakan bahwa tindakan administratif penguasa yang sah dalam arti kebijakan pemerintah secara mendadak yang tidak dapat diprediksi oleh para pihak juga dapat dikualifikasikan sebagai force majeure. Secara umum, Intisari yang dapat diambil adalah menyatakan bahwa tindakan administratif penguasa yang sah dalam arti kebijakan Pemerintah secara mendadak yang tidak dapat diprediksi oleh para pihak juga dapat dikualifikasikan sebagai force majeure.
Dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata, Berdasarkan ketentuan tersebut, maka unsur utama yang dapat menimbulkan keadaan force majeure adalah:
- Adanya kejadian yang tidak terduga;
- Adanya halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan;
- Ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur;
- Ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.
Ketentuan force majeure dalam perjanjian, dalam hal tidak terdapat klausula force majeure perlu kiranya melihat ketentuan-ketentuan di KUHPerdata (ataupun di peraturan sektoral), adapun kriterianya adalah sebagai berikut :
- mengalami “impossibilitas” yang tak dapat diperhitungkan sebelumnya (ontoerenkenbare onmogelijkheid) sehingga dalam keadaan tersebut risiko kerugian tidak patut dibebankan kepadanya.
- rintangan dan halangan yang membuat debitur dalam keadaan tidak mungkin memenuhi perjanjian, disebabkan oleh sesuatu peristiwa/kejadian yang berada di luar kesalahan atau kelalaian debitur, dalam hal ini debitur menghadapi halangan/rintangan abnormal di luar batas kemampuannya atau di luar kesalahan, kelalaian dan itikad baiknya.
- rintangan itu haruslah rintangan yang langsung terhadap prestasi itu sendiri. Bukan rintangan atau diri pribadi/person si debitur seperti jatuh miskin, jatuh sakit dan kenaikan harga.
Force majeure sendiri memiliki beberapa akibat hukum yang menyertainya. Ia mencegah debitur menanggung akibat dan risiko perjanjian (kecuali diperjanjikan lain). Lebih jauh para pihak dapat menempuh:
- Pengakhiran perjanjian terjadi ketika halangan bersifat tetap.Contoh : Seorang penyanyi yang sudah menandatangani kontrak untuk tampil dalam konser tiba-tiba harus dioperasi tenggorokannya, sehingga tidak memungkinkan lagi yang bersangkutan dapat menyanyi lagi. Pada situasi ini force majeure menyebabkan berakhirnya perjanjian.Dengan berakhirnya perjanjian, maka kontra prestasi juga ikut berakhir, misalnya kewajiban pihak penyelenggara konser untuk membayar penyanyi tersebut.
- Penundaan kewajiban terjadi ketika peristiwa force majeure sifatnya sementara. Bila keadaan halangan yang terjadi telah berakhir, misal larangan ekspor dicabut kembali, maka kewajiban dari penjual untuk menyerahkan barang ekspor tersebut harus tetap dilaksanakan.
- Renegoisasi Kontrak. Contoh :Pemberikan potongan, Mengatur kembali besaran bunga atau termin pembayaran.Harus dilakukan berdasarkan kesepakatan Para Pihak (vide Pasal 1338 KUHPerdata)
Kondisi Tertentu Debitur Tetap Menanggung Resiko Force Majeure, seperti halnya yang di sampaikan di atas, hal ini dikarenakan akibat hukum yang menyertainya. Seperti apakah hal-hal yang dimaksudkan sebagai kondisi tertentu debitur? Simak poinnya di bawah ini :
- Bila diatur di dalam ketentuan undang-undang, misal Pasal 1613 KUHPerdata yang menyatakan pemborong/debitur bertanggung jawab atas segala perbuatan para pekerja dalam suatu pemborongan. Atau bila mana terdapat pengaturan pada undang-undang sektoral / khusus.
- Berdasarkan persetujuan Para Pihak di dalam Perjanjian.
- Berdasarkan kelaziman, bila risiko peristiwa tersebut lazimnya dibebankan kepada debitur.
- Atau risiko yang mana saat pembuatan perjanjian debitur sendiri sudah memperkirakan akan terjadinya overmacht.
Pandemi COVID-19 bisa dijadikan sebagai dasar Force Majeure. Situasi yang mungkin tidak kita bayangkan sebelumnya. Dalam hal ini sudah dikeluarkan berbagai macam peraturan sebagai solusi yang hadir untuk diterapkan. Berikut beberapa peraturan pemerintah terkait yang dikeluarkan terkait Pandemi COVID-19 di Indonesia:
- Keppres No. 7 tahun 2020 tentang Gugus tugas Percepatan Penanganan COVID-19;
- Perpres Nomor 52 tahun 2020 tentang Pembangunan Fasilitas Observasi dan Penampungan dalam Penanggulangan COVID-19 atau Penyakit Infeksi Emerging di Pulau Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau;
- Inpres Nomor 4 tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19;
- PP Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19;
- Keppres Nomor 11 tahun 2020 tentang Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat;
- Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan COVID-19;
- Perpres Nomor 54 tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN Tahun Anggaran 2020;
- Keppres Nomor 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana non-alam Penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional.
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Dalam kondisi pandemic seperti sekarang ini, bisa dijadikan sebagai dasar force majeure. Pembatasan Sosial Berskala Besar yang diterapkan pemerintah di berbagai daerah, memberikan perubahan pola kerja, sehingga pekerjaan dilakukan dari rumah (WFH), kecuali kepada bidang-bidang tertentu seperti kantor atau instansi strategis yang memberikan pelayanan terkait pertahanan dan keamanan, ketertiban umum, kebutuhan pangan, bahan bakar minyak dan gas, pelayanan kesehatan, perekonomian, keuangan, komunikasi, industri, ekspor dan impor, distribusi, logistik, dan kebutuhan dasar lainnya. Contoh (dalam hal tidak terdapat rincian peristiwa force majeure di dalam perjanjian atau bila tidak dibatasi):
- Menimbulkan kesulitan pada pelaku usaha di luar bidang yang dikecualikan.
- Force Majeure terjadi pada pelaku usaha yang bergerak di luar bidang yang dikecualikan, bilamana pembatasan ini mengakibatkan pelaku usaha tidak dapat memenuhi kewajiban kontraktualnya.
- Pelaku usaha yang bergerak di bidang yang dikecualikan dan bahkan mengalami peningkatan karena bidang usahanya sangat terkait dengan kesehatan (seperti farmasi, alat kesehatan, supermarket, dan sebagainya) tidak dapat mengklaim force majeure.
Karena pandemic, tentu banyak hal-hal di luar dugaan yang muncul. Salah satunya adalah yang disebut sebagai hardship atau disebut juga sebagai keadaan sulit. Ia merupakan peristiwa yang secara fundamental telah mengubah keseimbangan kontrak. Hardship ini juga merupakan metode kontraktual yang cukup canggih dalam menangani persoalan terjadinya perubahan keadaan fundamental yang akan mempengaruhi hakikat dari perjanjian para pihak. Namun biasanya klausul hardship ini digunakan dalam kontrak-kontrak jangka panjang yang nilainya tinggi. Maksudnya adalah untuk mengatasi kesulitan yang dalam penerapan isi kontrak termasuk keadaan memaksa dan doktrin kegagalan (frustration).
Munculnya kesulitan (hardship) yang dialami baik individu-individu maupun korporasi dalam memenuhi kewajibannya, seperti kemampuan untuk membayar cicilan utang akibat kesulitan keuangan dan akibat upaya restrukturisasi dalam rangka menyelamatkan keuangan perusahaan (PHK, perampingan dll).
Pada Dasarnya kondisi yang tidak terkait langsung dengan prestasi dan merupakan risiko pribadi dari si debitur, seperti jatuh miskin, jatuh sakit dan kenaikan harga-harga merupakanimpossibilitas yang digolongkan sebagai bukan penyebab Force Majeure.
Namun dalam konteks Pandemi COVID-19 hal tersebut perlu ditinjau dari perspektif lain, seperti apakah kesulitan tersebut bersifat kasuistik saja, atau ternyata kesulitan yang terjadi (seperti kesulitan keuangan, kemiskinan, sakit parah, dll) merupakan hal yang terjadi secara meluas sebagai akibat dari Pandemi COVID-19 sehingga memang tidak patut bagi pihak terdampak untuk menanggung kerugian, hal ini dapat menjadi pertimbangan oleh hakim.
Untuk mengatasi keadaan sulit (hardship), pendekatan lain yang dapat digunakan adalah dengan itikad baik. Sebuah perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Vide Pasal 1338 KUHPerdata). Kreditur yang memaksakan haknya untuk dipenuhi pada saat yang paling sulit debitur yang dapat dianggap melaksanakan kontrak tidak dengan itikad baik. Menurut Prof R. Subekti “pelaksanaan perjanjian menurut hurufnya yang justru menimbulkan ketidakadilan, maka hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya”. Contoh kasus:kasus Ny Boesono dan R. Boesono melawan Sri Setianingsih dalam perkara No. 341/K/Pdt/1985, tanggal 14 Maret 1987, Mahkamah Agung Republik Indonesia memutuskan bahwa bunga pinjaman sebesar 10% per bulan adalah terlalu tinggi dan menimbulkan ketidakadilan. Pengadilan menurunkan tingkat suku bunga dari 10% menjadi 1% per bulan. Nah, untuk menyikapi kondisi kesulitan (hardship) yang paling disarankan adalah dengan melakukan renegosiasi.
Terjadinya Force Majeure mencegah debitur menanggung akibat dan risiko perjanjian. Yang perlu ditekankan bahwa dalam keadaan memaksa yang perlu dikedepankan adalah kebijaksanaan dari para pihak dalam menyikapi kondisi tersebut. Nah, langkah apa yang dapat diambil dalam menghadapi Force Majeure terkait COVID-19?
- Para Pihak dapat melakukan renegosiasi/restrukturisasi, penundaan pelaksanaan kewajiban sampai dengan Force Majeure berakhir ataupun dapat mengakhiri perjanjian. Hal tersebut sangat tergantung dengan objek perjanjian dan prestasi yang diperjanjikan.
- Dalam hal Perjanjian memuat kondisi Force Majeure dan penyelesaiannya maka Para Pihak harus menyelesaikan berdasarkan ketentuan tersebut (dalam hal ini bila para pihak telah mengatur setelah force majeure harus diadakan perundingan untuk menyelesaikan hak dan kewajiban, maka ketentuan ini mengenyampingkan pelepasan tanggung jawab pihak terdampak force majeure).
- Dalam hal klausula Force Majeure belum memuat wabah atau bencana yang ditetapkan Pemerintah sebagai peristiwa Force Majeure Para Pihak dapat melakukan adendum perjanjian atau membuat kesepakatan dengan menambahkan klausul mengenai force majeure sebagai contoh menambahkan “pandemi” sebagai salah satu klausul yang dapat dikategorikan sebagai force majeure sampai kondisi kembali normal (perpanjangan waktu).
Lantas, bagaimana seorang advokat harus mengetahui tentang peristiwa force majeure karena COVID-19?Sebagai seorang Advokat, kita harus menyadari bahwa force majeure semacam ini merupakan puncak gunung es kasus hukum besar di masa depan. Rintangan tentu akan selalu ada selama perjalanan dan akan menemani di sepanjang jalan. Jadi, kita mesti bersiap untuk menghadapinya. Seorang advokat harus siap tentang siapa yang akan diwakili, kasus seperti apa dan perlu memiliki lebih dari cukup pengetahuan tentang masalah hukum terkait. Selain itu, jangan pernah lupa bahwa advokat adalah officium nobile.
Officium Nobile” atau disebut juga sebagai profesi terhormat. Ini merupakan frasa yang selalu diagung-agungkan oleh para advokat Indonesia. Ada tiga kali frasa “Officium Nobile” disebut dalam Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI). Salah satunya, pada Pasal 8 huruf a yang berbunyi “Profesi Advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile), dan karenanya dalam menjalankan profesi selaku penegak hukum di pengadilan sejajar dengan Jaksa dan Hakim, yang dalam melaksanakan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik ini”.Dengan demikian, seseorang perlu memiliki kemampuan untuk melihat dampak masa lalu, sekarang dan masa depan dalam menangani peristiwa force majeure karena COVID-19 ini.
Materi ini disampaikan dalam Sharing Session DPC PERADI Jakarta Pusat & IDLC. Semoga bermanfaat dan dapat dijadikan pembelajaran bersama 😊
