Mengetahui Akibat dan Risiko Perjanjian Force Majeure
Force majeure sendirimemilikibeberapaakibathukum yang menyertainya. Ia mencegah debitur menanggung akibat dan risiko perjanjian (kecuali diperjanjikan lain). Lebih jauh para pihak dapat menempuh:
- Pengakhiranperjanjianterjadiketikahalanganbersifattetap.Contoh :Seorangpenyanyi yang sudahmenandatanganikontrakuntuktampildalamkonsertiba-tibaharusdioperasitenggorokannya, sehinggatidakmemungkinkanlagi yang bersangkutandapatmenyanyilagi. Pada situasiini force majeure menyebabkanberakhirnyaperjanjian. Denganberakhirnyaperjanjian, makakontraprestasi juga ikutberakhir, misalnyakewajibanpihakpenyelenggarakonseruntukmembayarpenyanyitersebut.
- Penundaankewajibanterjadiketikaperistiwa force majeure sifatnyasementara. Bilakeadaanhalangan yang terjaditelahberakhir, misallaranganekspordicabutkembali, makakewajibandaripenjualuntukmenyerahkanbarangeksportersebutharustetapdilaksanakan.
- RenegoisasiKontrak. Contoh :Pemberikanpotongan, Mengaturkembalibesaranbungaatauterminpembayaran. Harusdilakukanberdasarkankesepakatan Para Pihak (vide Pasal 1338 KUHPerdata)
KondisiTertentuDebiturTetapMenanggungResikoForce Majeure, sepertihalnya yang di sampaikan di atas, halinidikarenakanakibathukum yang menyertainya. Sepertiapakahhal-hal yang dimaksudkansebagaikondisitertentudebitur? Simakpoinnya di bawahini :
- Bila diatur di dalam ketentuan undang-undang, misal Pasal 1613 KUHPerdata yang menyatakan pemborong/debitur bertanggung jawab atas segala perbuatan para pekerja dalam suatu pemborongan. Atau bila mana terdapat pengaturan pada undang-undang sektoral / khusus.
- Berdasarkan persetujuan Para Pihak di dalam Perjanjian.
- Berdasarkan kelaziman, bila risiko peristiwa tersebut lazimnya dibebankan kepada debitur.
- Atau risiko yang mana saat pembuatan perjanjian debitur sendiri sudah memperkirakan akan terjadinya overmacht.
Pandemi COVID-19 bisadijadikansebagaidasarForce Majeure. Situasi yang mungkintidakkitabayangkansebelumnya. Dalamhalinisudahdikeluarkanberbagaimacamperaturansebagaisolusi yang hadiruntukditerapkan. Berikutbeberapaperaturanpemerintahterkait yang dikeluarkanterkaitPandemi COVID-19 di Indonesia:
- Keppres No. 7 tahun 2020 tentangGugustugasPercepatanPenanganan COVID-19;
- PerpresNomor 52 tahun 2020 tentang Pembangunan FasilitasObservasi dan PenampungandalamPenanggulangan COVID-19 atauPenyakitInfeksi Emerging di PulauGalang, Kota Batam, ProvinsiKepulauan Riau;
- InpresNomor 4 tahun 2020 tentangRefocussingKegiatan, RealokasiAnggaran, sertaPengadaanBarang dan JasaDalamRangkaPercepatanPenanganan COVID-19;
- PP Nomor 21 tahun 2020 tentangPembatasanSosialBerskalaBesarDalamRangkaPercepatanPenanganan COVID-19;
- KeppresNomor 11 tahun 2020 tentangPenetapan Status KedaruratanKesehatan Masyarakat;
- PerppuNomor 1 tahun 2020 tentangKebijakanKeuangan Negara dan StabilitasSistemKeuanganUntukPenanganan COVID-19;
- PerpresNomor 54 tahun 2020 tentangPerubahanPostur dan Rincian APBN TahunAnggaran 2020;
- KeppresNomor 12 tahun 2020 tentangPenetapanBencana non-alamPenyebaran COVID-19 sebagaiBencana Nasional.
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
Dalamkondisi pandemic sepertisekarangini, bisadijadikansebagaidasar force majeure. PembatasanSosialBerskalaBesar yang diterapkanpemerintah di berbagaidaerah, memberikanperubahanpolakerja, sehingga pekerjaan dilakukan dari rumah (WFH), kecuali kepada bidang-bidang tertentu seperti kantor atau instansi strategis yang memberikan pelayanan terkait pertahanan dan keamanan, ketertiban umum, kebutuhan pangan, bahan bakar minyak dan gas, pelayanan kesehatan, perekonomian, keuangan, komunikasi, industri, ekspor dan impor, distribusi, logistik, dan kebutuhan dasar lainnya. Contoh (dalamhaltidakterdapatrincianperistiwaforce majeure di dalamperjanjianataubilatidakdibatasi):
- Menimbulkan kesulitan pada pelaku usaha di luar bidang yang dikecualikan.
- Force Majeure terjadi pada pelaku usaha yang bergerak di luar bidang yang dikecualikan, bilamana pembatasan ini mengakibatkan pelaku usaha tidak dapat memenuhi kewajiban kontraktualnya.
- Pelaku usaha yang bergerak di bidang yang dikecualikan dan bahkan mengalami peningkatan karena bidang usahanya sangat terkait dengan kesehatan (seperti farmasi, alat kesehatan, supermarket, dan sebagainya) tidak dapat mengklaim force majeure.
Karena pandemic, tentubanyakhal-hal di luardugaan yang muncul. Salah satunyaadalah yang disebutsebagai hardship ataudisebut juga sebagaikeadaansulit. Iamerupakanperistiwa yang secara fundamental telahmengubahkeseimbangankontrak. Hardship ini juga merupakanmetodekontraktual yang cukupcanggihdalammenanganipersoalanterjadinyaperubahankeadaan fundamental yang akanmempengaruhihakikatdariperjanjian para pihak. Namunbiasanyaklausul hardship inidigunakandalamkontrak-kontrakjangkapanjang yang nilainyatinggi. Maksudnyaadalahuntukmengatasikesulitan yang dalampenerapanisikontraktermasukkeadaanmemaksa dan doktrinkegagalan (frustration).
Munculnya kesulitan (hardship) yang dialami baik individu-individu maupun korporasi dalam memenuhi kewajibannya, seperti kemampuan untuk membayar cicilan utang akibat kesulitan keuangan dan akibat upaya restrukturisasi dalam rangka menyelamatkan keuangan perusahaan (PHK, perampingan dll).
Pada Dasarnya kondisi yang tidak terkait langsung dengan prestasi dan merupakan risiko pribadi dari si debitur, seperti jatuh miskin, jatuh sakit dan kenaikan harga-harga merupakanimpossibilitas yang digolongkan sebagai bukan penyebab Force Majeure.
Namun dalam konteks Pandemi COVID-19 hal tersebut perlu ditinjau dari perspektif lain, seperti apakah kesulitan tersebut bersifat kasuistik saja, atau ternyata kesulitan yang terjadi (seperti kesulitan keuangan, kemiskinan, sakit parah, dll) merupakan hal yang terjadi secara meluas sebagai akibat dari Pandemi COVID-19 sehingga memang tidak patut bagi pihak terdampak untuk menanggung kerugian, hal ini dapat menjadi pertimbangan oleh hakim.
Untukmengatasikeadaansulit (hardship), pendekatan lain yang dapatdigunakanadalahdenganitikadbaik. Sebuah perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Vide Pasal 1338 KUHPerdata). Kreditur yang memaksakan haknya untuk dipenuhi pada saat yang paling sulit debitur yang dapat dianggap melaksanakan kontrak tidak dengan itikad baik. Menurut Prof R. Subekti “pelaksanaan perjanjian menurut hurufnya yang justru menimbulkan ketidakadilan, maka hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya”. Contoh kasus:kasus Ny Boesono dan R. Boesono melawan Sri Setianingsih dalam perkara No. 341/K/Pdt/1985, tanggal 14 Maret 1987, Mahkamah Agung Republik Indonesia memutuskan bahwa bunga pinjaman sebesar 10% per bulan adalah terlalu tinggi dan menimbulkan ketidakadilan. Pengadilan menurunkan tingkat suku bunga dari 10% menjadi 1% per bulan. Nah, untuk menyikapi kondisi kesulitan (hardship) yang paling disarankan adalahdengan melakukan renegosiasi.
TerjadinyaForce Majeure mencegah debitur menanggung akibat dan risiko perjanjian. Yang perluditekankanbahwadalamkeadaanmemaksa yang perludikedepankanadalahkebijaksanaandari para pihakdalammenyikapikondisitersebut. Nah, langkahapa yang dapatdiambildalammenghadapiForce Majeureterkait COVID-19?
- Para Pihak dapat melakukan renegosiasi/restrukturisasi, penundaan pelaksanaan kewajiban sampai dengan Force Majeure berakhir ataupun dapat mengakhiri perjanjian. Hal tersebut sangat tergantung dengan objek perjanjian dan prestasi yang diperjanjikan.
- Dalam hal Perjanjian memuat kondisi Force Majeure dan penyelesaiannya maka Para Pihak harus menyelesaikan berdasarkan ketentuan tersebut (dalam hal ini bila para pihak telah mengatur setelah force majeure harus diadakan perundingan untuk menyelesaikan hak dan kewajiban, maka ketentuan ini mengenyampingkan pelepasan tanggung jawab pihak terdampak force majeure).
- Dalam hal klausula Force Majeure belum memuat wabah atau bencana yang ditetapkan Pemerintah sebagai peristiwa Force Majeure Para Pihak dapat melakukanadendumperjanjianataumembuatkesepakatandenganmenambahkanklausulmengenaiforce majeuresebagaicontohmenambahkan “pandemi” sebagai salah satuklausul yang dapatdikategorikansebagaiforce majeure sampaikondisikembali normal (perpanjanganwaktu).
Lantas, bagaimanaseorangadvokatharusmengetahuitentangperistiwa force majeure karena COVID-19?SebagaiseorangAdvokat, kitaharusmenyadaribahwa force majeure semacaminimerupakanpuncakgunung es kasushukumbesar di masa depan. Rintangantentuakanselaluadaselamaperjalanan dan akanmenemani di sepanjangjalan. Jadi, kitamestibersiapuntukmenghadapinya. Seorangadvokatharussiaptentangsiapa yang akandiwakili, kasussepertiapa dan perlumemilikilebihdaricukuppengetahuantentangmasalahhukumterkait. Selainitu, janganpernahlupabahwaadvokatadalah officium nobile.
Officium Nobile” ataudisebut juga sebagaiprofesiterhormat. Inimerupakanfrasa yang selaludiagung-agungkan oleh para advokat Indonesia. Adatiga kali frasa “Officium Nobile” disebutdalamKodeEtikAdvokat Indonesia (KEAI). Salah satunya, pada Pasal 8 huruf a yang berbunyi “ProfesiAdvokatadalahprofesi yang mulia dan terhormat (officium nobile), dan karenanyadalammenjalankanprofesiselakupenegakhukum di pengadilansejajardenganJaksa dan Hakim, yang dalammelaksanakanprofesinyaberadadibawahperlindunganhukum, undang-undang dan KodeEtikini”.Dengandemikian, seseorangperlumemilikikemampuanuntukmelihatdampak masa lalu, sekarang dan masa depandalammenanganiperistiwa force majeure karena COVID-19 ini.
MateriinidisampaikandalamSharing Session DPC PERADI Jakarta Pusat & IDLC. Semogabermanfaat dan dapatdijadikanpembelajaranbersama😊
